Minggu, 05 April 2009

FILSAFAT ILMU

FILSAFAT ILMU


A. DESKRIPSI MATA KULIAH
Dalam mata kuliah ini akan dikaji konsep dasar tentang filsafat ilmu, kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsinya serta kaitannya dengan MKK dan MKBS. Berikutnya dibahas pula tentang karakteristik filsafat, ilmu dan pendidikan serta jalinan fungsional antara ilmu, filsafat dan agama. Selanjutnya dibahas mengenal sistematika, permasalahan, keragaman pendekatan dan paradigma (pola pikir) dalam pengkajian dan pengembangan ilmu dan dimensi ontologis, epistomologis dan aksiologis. Selanjutnya dikaji mengenai makna, implikasi dan implementasi filsafat ilmu sebagai landasan dalam rangka pengembangan keilmuan dan kependidikan dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kuantitatif dan kualitatif, maupun perpaduan kedua-duanya.


B. TUJUAN UMUM PERKULIAHAN
Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan peserta pendidikan memiliki kemampuan:
1. Memahami konsep dasar filsafat ilmu, kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsinya untuk dapat dijadikan landasan pemikiran, perencanaan dan pengembangan ilmu dan pendidikan secara akademik dan profesional.
2. Mampu memahami filsafat ilmu untuk mengembangkan diri sebagai ilmuwan maupun sebagai pendidik dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kuantitatif dan kualitatif maupun perpaduan kedua-duanya dalam konsentrasi bidang studi yang menjadi minat utamanya.
3. Mampu menerapkan filsafat ilmu sebagai dasar pemikiran, perencanaan dan pengembangan khususnya landasan keilmuan dan landasan pendidikan yang dijiwai nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya masyarakat Indonesia yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara serta umat manusia dalam pemahaman dan perkembangan lingkungan dinamika global.

C. METODE PEMBELAJARAN
1. Ceramah, tanya jawab/dialog-kreatif, diskusi/lokakarya/seminar
2. Penguasaan terstruktur: penulisan makalah atau laporan kajian buku.
3. Studi kasus, studi banding dan laporan kajian serta implementasi atau pengembangan.
D. EVALUASI:
Akumulasi dan proporsi kehadiran, makalah, laporan kajian buku, diskusi/seminar, ujian tengah semester dan ujian akhir semester.

ASYARIYAH AL'BAQILLANI

ASY’ARIYAH AL-BAQILLANI

I. PENDAHULUAN

Faham Asy’ariyah dalam kajian awal menjadi sebuah teologi yang bertitik tolak dari rintisan seorang tokoh besar pemikir Islam, Abu al-Hasan 'Ali Ibn Ismail al-Asy’ari dari Bashrah, Iraq. Ia memiliki pengaruh besar dengan menjadi salah satu tokoh terkemuka Mu’tazilah. Kemunculan faham ini tidak lain adalah sebagai reaksi atas ketidakpuasan dan keragu-raguan pemahaman yang diyakini Asy’ari sebelumnya hingga memunculkan/melahirkan suatu teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama Asy’ariyah. Faham ini selanjutnya menjadi landasan Asy’ari dalam mencari kebenaran sesuai dengan jiwa dan falasfah hidupnya.
Karena pada prinsipnya, suatu pemikiran itu merupakan hasil refleksi zaman dan kondisi dari suatu masyarakat, begitu pula dengan al-Asy’ari yang tidak akan pernah lepas dari konteks zaman dan masyarakatnya sendiri.
Dalam pergumulan pemikiran teologi akhirnya al-Asy’ari memperoleh kemenangan besar, terutama sejak tampil pengikutnya yaitu Imam Ghazali sekitar dua abad setelah al-Asy’ari, dengan kekuatan argumen yang luar biasa. Faham Asy’ariyah menjadi standar faham Sunni dalam aqidah.


II. TEOLOGI ASY’ARIYAH DAN PEMIKIRANNYA

Asy’ariyah adalah Faham, teologi atau golongan yang dinisbatkan kepada Abu Musa al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M), ia dilahirkan di Bashrah, besar dan wafat di Baghdad. Selanjutnya ia belajar kepada ulama hadits,fiqh, tafsir dan bahasa antara lain kepada al-Salji, Abu Khalifah al Jumhi, Sahal ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya’kub,Abdur Rahman ibn Khilafah dan lain- lain. Demikian juga ia belajar fiqh Syafi’i kepada seorang ahli fiqh : Abu Ishaqal Maruzi (w.340 H/951 M) - seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah. Sampai umur empat puluh tahun ia selalu bersama ustadz al-Jubba’i, serta ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Mulanya ia adalah murid dari tokoh terkenal Mu’tazilah di Bashrah al-Jubba’i, dan menjadi tokoh terkemuka dalam golongan Mu’tazilah, tetapi kemudian usia empat puluh tahun, ia memisahkan diri dari Mu’tazilah untuk kemudian merumuskan doktrin-doktrin teologi yang berbeda bahkan bertentangan dengan berbalik melawan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan berusaha kembali kepada ajaran-ajaran autentik al-Qur’an.
Faham teologi Asy’ari termasuk faham teologi tradisional, yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang menggunakan metaphor dan golongan ekstrim tekstualis yang leterlek.
Ia mengambil posisi diantara Mu’tazilah dan Salafiyah, tetapi “benang merah” sebagai jalan tengah yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak Mu’tazilah,lain kali cenderung ke salafiyah, dan lain kali lagi mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu.
Keunggulan sistem Asy’ariyah atas lainnya dari tinjauan pemikiran kalam adalah dari segi metodologinya yang dapat diringkaskan sebagai jalan tengah antara berbagai akstremitas. Maka ketika menggunakan metodologi logika Aristoteles,ia tidaklah menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sich (seperti terkesan pada filosof), melaikan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itupun hanya dalam urutan sekunder. Sebab bagi al-Asy’ari, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari kitab maupun yang dari sunnah,menurut makna harfiah. Oleh karena itu kalaupun ia melakukan ta’wil, ia lakukan hanya secara sekunder pula,yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hambali dan metode ta’wili kaum Mu’tazili.
Ditengah-tengah berkecamuknya polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saati itu, metode yang ditempuh al-Asy’ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan utama mengapa penerimaan faham Asy’ari hamper secara universal, dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang. Hal itu dikarenakan yang manjadi inti pokok faham Asy’ariyah ialah Sunnisme.
Adapun Asy’ariyah berpendapat lain, bahwa akal tidak begitu besar daya kekuatannya. Diantara keempat masalah diatas,akal hanya dapat sampai kepada adanya tuhan. Soal kewajiban manusia terhadap Tuhan, soal baik dan buruk (jahat) dan kewajiban berbuat baik serta menjauhi kejahatan, itu tidak dapat diketahui akal manusia. Itu diketahui manusia hanya melalui wahyu yang diturunkan Tuhan melalui para Nabi dan Rasul.
Kalau Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, maka kaum Asy’ariyah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberikan interpretasi pada teks atau nash wahyu sesuai dengan pendapat akal.
Kaum Asy’ariah sebaliknya, pergi jauh terlebih dahulu kepada teks wahyu, dan kemudian membawa argumen-argumen rasionil untuk teks wahyu itu. Kalau Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, maka kaum Asy’ariyah banyak berpegang pada arti lafzhi atau leterlek dari teks wahyu. Dengan kata lain, kalau kaum Mu’tazilah membaca yang tersirat dalam teks, sedangkan kaum Asy’ari membaca yang tersurat.
Selain itu faham al-kasb yang dibawa kaum Asy’ariah lebih dekat kepada faham Jabariyah atau fatalisme dari kepada faham Qadariyah atau kebebasan manusia. Dan kerena kuat mempertahankan faham kekuasaan mutlak Tuhan, maka faham hukum alam atau sunnatullah akhirnnya tidak mendapat tempat dalam aliran Asy’ariyah. Hal inilah yang membuat aliran Asy’ariyah kurang sesuai dengan jiwa kaum terpelajar Islam yang benyak mendapat pendidikan Barat. Dalam suasan serupa ini pula orang mulai kembali kepada faham-faham rasionil yang dibawa kaum Mu’tazilah.
Tampak bahwa dalam faham Asy’ariyah segala sesuatunya serba Tuhan, serba wahyu dan sangat sedikit menggunakan akal pikiran. Hal ini ditambah lagi dengan sikap mereka yang menempatkan Tuhan sebagai penguasa mutlak, berbuat sekehendakNya, tanpa memperhatikan manusia apakah sanggup melaksanakan kejendak Tuhan itu atau tidak. Dengan demikian, faham teologi Asy’ariyah ini nampaknya sangat kuat berpegang pada wahyu dan bercorak theo-centris dan sebagainya bermula dan memusat pada Tuhan. Baik atau buruk, semuanya ditentukan oleh Tuhan. Dengan demikian memang beralasan jika teologi Asy’ariyah ini dikategorikan sebagai yang bercorak tradisional dan kurang sejalan dengan pemikiran modern yang menuntut dan menghendaki agar manusia bersikap kreatif.
Metode yang dipergunakan Asy’ari memang unik, berbeda dari metode Mu’tazilah dan Salafiah, dan bisa dikatakan sebagai sintesa antara keduanya. Asy’ari mengambil yang baik dari metode rasional Mu’tazilah dan metode tekstual Salafiah, sehingga dia mempergunakan naqal dan akal secara seimbang; mempergunakan akal secara maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah dalam mempergunakannya, dan memegang naqal dengan kuat tetapi tidak seketat Salafiah dalam menolak akal untuk menjamahnya.
Tokoh-tokoh yang termashur dalam aliran Al-Asy’ariah ini, yaitu Abu Bakar Al Baqillani (1013 M), Imam Al Haramain Al Juwaini (419-478 H), Abu Hamid Al Ghazali (1058-1111), dan Imam Fakhruddin Ar-Razi.
III.AL-BAQILLANI DAN PEMIKIRANNYA
Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Abu Bakar al-Baqillani (Wafat 1013 M) adalah satu diantara pengikut yang terpenting didalam ajaran Asy’ariyah. Al-Baqillani memperoleh ajaran-ajaran Asy’ariyah dari dua muridnya yaitu Ibn Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili.
Muhammad bin at-Thayib bin Muhammad bin Ja’far, salah seorang ulama besar di bidang ilmu kalam, menyusun pemikiran-pemikiran al-Asy’ari, memaparkan mukadimah-mukadimah argumentasi akal bagi tauhid meski terkadang berlebih-lebihan karena mukadimah-mukadimah tersebut tidak terdapat dalam al-Qur`an dan sunnah. Kemudian dia berhenti pada madzhab salaf dan menetapkan seluruh sifat seperti wajah dan kedua tangan secara hakiki dan membatalkan macam-macam takwil yang dipakai oleh ahli ta’wil. Ini dia tulis dalam kitabnya Tamhid al-Awail wa Talkhis ad-Dalail.
Metode Asy’ariyah yang moderat mengalami pergeseran mendekati metode Mu’tazilah, sehingga metode rasional lebih dominan. Menurut Jalal Musa, adanya pergeseran ini disebabkan adanya sikap berlebihan dari sebagian tokoh salaf yang dengan ketat berpegang kepada teks wahyu secara harfiah, sehingga dianggap berbahaya bagi akidah Islam. Pergeseran ini dimulai sejak al-Baqillani (w. 401 H), yang oleh sementara ahli dianggap sebagai tokoh Asy’ariyah kedua.
Al-Baqillani, seorang dialektikus terkenal Asy’ariyah, karena banyak terlibat diskusi dengan pihak Mu’tazilah dan pendeta Kristen, yang banyak menggunakan metode rasional, tetapi sampai menyerap hasil pemikiran filsafat Yunani dan menjadikannya sebagai dasar-dasar argumentasi rasional dalam masalah akidah. Bahkan dia mewajibkan iman kepada dasar-dasar tersebut.
Diantara dasar-dasar itu ialah: bahwa alam terdiri atas aksiden; aksiden tidak mampu bertahan sampai dua detik dan sebagainya. Meskipun demikian, al-Baqillani sama sekali tidak melupakan metode tekstual. Memang dalam kitab al-Tamhid (Pendahuluan), al-Baqillani sama sekali tidak memasukkan argumen tekstual, sehingga murni rasional. Tetapi dalam kitabnya yang lain, al-Inshaf, dia mempergunakan argumen rasional dan tekstual secara bersamaan dalam setiap masalah .
Selain itu, al-Baqillani, sebagaimana Asy’ari, juga menetapkan ayat-ayat dan hadis mutasyabihat sebagai sifat-sifat Tuhan dengan “bila kayf” (tanpa diketahui bagaimanaya) dengan mengemukakan dalil naqal. Meskipun al-Baqillani telah membawa metode Asy’ariyah kepada rasionalitas yang lebih tinggi, namun menurut Abdurrhman Badawi, dia masih awam mengenai logika Aristoteles, karena dalam artumen-argumennya belum ditemukan terminologi logika tersebut. Badawi menilai al-Baqillani hanya mempergunakan logika yang digunakan di kalangan ulama ushul al-fiqh, seperti tentang qiyas yang diterapkan dalam akidah .
Al-Baqillani adalah seorang pengikut yang tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran al-Asy’ari .Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan Asy’ari seperti yang diungkapkan sebagaiberikut.

a) Sifat Allah
Bagi al-Baqillani, sifat Allah yang kita sebut bukanlah sifat tapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah,sungguhpun ia pada mulanya mempunyai pendapat yang berbeda
Dalam hal ini al-Baqillani mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar zat Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan.
Dalam kitab tersebut ia membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki ilmu kalam, antara lain pembicaraan tentang jauhar fard (atom),arad, cara pembuktiannya. Juga ia menyinggung kepercayaan agama macam-macam yang kesemuanya bersifat pengantar.
Al Baqillani mengabil teori atom yang telah dibicarakan aliran mu’tazilah dan dijadikan dasar penetapan adanya kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas. Alam ini baginya adalah kumpulan jauhar (benda tunggal) yaitu bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, akan tetapi benda-benda tunggal tersebut tidak terdapat dalam wujud, kecuali sesuadah dibubuhi arad. Jisim, yaitu benda tersusun, terjadi dari gabungan benda-benda tunggal (jauhar) tersebut .
Jauhar adalah sesuatu yang mungkin bias wujud dan bias tidak wujud, seperti halnya arad dan jisim. Kesemuanya dijadikan Tuhan(diciptakan). Penciptaan ini terus menerus ada,karena arad, arad dan jisim tidak mungkin terdapat lebih dari satu waktu (detik). Kalau Tuhan berhenti tidak menciptakan lagi, maka semua yang ada disini akan musnah.
Menurut Al-Baqillani tiap tiap arad mempunyai lawan arad pula.Misalnya hidup lawannya mati, baik lawannya buruk, panas lawannya dingin dan seterusnya. Dua arad yang berlawanan tidak mungkin berkumpul pada sesuatu benda dari satu segi dan pada satu waktu(bersamaan waktu), meskipun terjadi pergantian arad yang berlawanan tersebut pada suatu benda.
Akibat penting dari pendapat tersebut ialah bahwa dalam alam ini tidak ada hukum yang pasti, sebagaimana yang dikatakan aliran mu’tazilah. Karena penggabungan atom dan pergantian arad tidak terjadi karena sendirinya(karena tabiatnya), tetapi kehendak Tuhan semata. Kalau Tuhan menghendaki perubahan hukum yang kelihatannya menguasai jalannya alam, tentu bias berubah dengan menggantikan apa yang biasanya ada dan meletakkan arad yang barusebagai ganti arad yang sudah ada.
Di sinilah terjadi mukzizat. Mukzizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan (keluarbiasaan : kharq al ‘adah). Jadi hokum kausalitas (sebab musabab) tidak ada. Yang ada adalah pergantian fenomena, yang boleh jadi tetap macamnya sesuai kehendak Tuhan.
Pengingkaran hokum kaualitas ini kemudian menjadi dasar utama aliran Asyariyah, sehingga aliran ini tidak segan-segan menuduh orang yang menganut hokum kausalitas dan menghbungkan kekuatan bekerja/ mewujudkan kepada sebab-sebab lahir, seperti pendirian filosof-filosof dan materalis, telah menjadi kafir.
Golongan Asy’ariah memegangi teori atom bukan karena hasil penyelidikan akal, akan tetapi karena teori tersebut merupakan jalan terbaik untuk memperkuat paham yang dianutnya/ ditetapkannya. Keadaan inilah yang menyebabkan Ibn Rusyd menyayangkan sikap aliran Asy’ariah.
Itulah antara lain pengantar yang telah dibicarakan al-Baqillani. Akan tetapi amat disayangkan al-Baqillani mengharuskan orang lain mengikuti pendiriannya, sebab pengantar tersebut tidak dimuat dalam al-Qur’an maupun Hadits, sedangkan penyelidikan akal dapat berbeda-beda menurut perbedaan orangnya.

b) Perbuatan Manusia
Kalau bagi Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan
Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapaun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk,berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan spectes (naw’) dari gerak, adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Tuhan itu, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi al-Asr’ari daya manusia adalah kasb tidak mempunyai efek, bagi al-Baqillani daya itu mempunyai efek. Diantara buku-buku karyanya adalah I’jaz al-Qur’an, al-Milal wan Nihal, Tamhid al-Awail dan lain-lain
Dalam perbedaan faham al-Asy’ari dengan al-Baqillani nampaknya yang lebih menuju kearah kebenaran adalah faham yang dibawa oleh al-Baqillani.Hal ini menunjukkan bahwa al-Baqillani mempunyai pandangan yang menjurus kepada faham Qadariyah sekaligus menyempurnakan faham yang dibawa oleh pendahulunya tersebut. Sementara al-Asy’ari lebih menjurus kepada faham Jabariyah.


IV. PERKEMBANGAN TEOLOGI ASY’ARIYAH
Sungguh menarik bahwa pergumulan pemikiran yang sengit dibidang teologi itu akhirnya Imam Abu Hasan “Ali al-Asy’ari dari Bashrah tersebut memperoleh kemenangan besar. Ini terutama sejak tampilnya Imam al-Ghazali sekitar dua abad setelah al-Asy’ari, yang dengan kekuatan argumennya yang luar biasa, disertai contoh kehidupan yang penuh zuhud, mengembangkan faham Asy’ari menjadi standar Faham Ortodoks atau Sunni dalam ‘Aqidah.
Karena itu sebagian besar kaum Muslim seluruh dunia beranggapan kalau faham Asy’ari adalah identik dengan Faham Sunni, dan lebih dari itu, Ilmu Kalam pun sekarang menjadi hampir terbatas hanya pada metode Asy’ari. Maka jika dilihat dari kadar penerimaannya oleh kaum Muslim, tidaklah mengherankan jika faham al-Asy’ari adalah faham yang paling luas menyebar dalam dunia Islam, sehingga al-Asy’ari bisa disebut sebagai pemikir Islam klasik yang paling sukses. Tidak ada tokoh pemikir dalam Islam yang dapat mengklaim sedemikian banyak penganut dan sedemikian luas pengaruh buah fikirannya seperti Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Dalam perkembangannya, teologi Asy’ariyah ini tidak seperti aliran Mu’tazilah- yang pemikiran teologinya hanya terikat pada al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, aliran Asy’ariyah ini selain terikat pada al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, juga terikat pada Hadits Masyhur dan Hadits Ahad, oleh sebab itu mudah dipahami.
Memang mayoritas umat berpegang kepada hadits/sunnah Ahad dan Masyhur, sedang mereka yang hanya perpegang kepada Sunnah Mutawatir- disamping al-Qur’an merupakan golongan minoritas. Mudah pula difahami mengapa kaum Mu’tazilah tidak dipandang termasuk Ahl al-Sunnah, karena mereka hanya terikat pada sunnah yang pasti ( Mutawatir) dari Nabi, tentu sedikit sekali berpegang pada sunnah/hadits dan secara umum mereka dianggap sebagai bukan pemegang sunnah ( bukan ahl al-Sunnah). Maka sebutan yang paling umum untuk tokoh ini ialah Syaykh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, sebagaimana senantiasa digunakan pada lembaran judul karya-karyanya yang cukupbanyak dan kini telah diterbitkan.
Karena teologi Asy’ariyah didirikan atas kerangka landasan yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran.
Kunci keberhasilan teologi Asy’ariyah ialah karena sejak awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya umat Islam yang jumlahnya selalu mayoritas didunia Sunni. Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Pemikiran teologi Asy’ariyah telah berhasil menarik rakyat banyak dibawah naungannya, berkat campur tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai faham resmi pada waktu itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy’ari pada tahun 935M, ajarannya dikembangkan oleh pengikutnya,antara lain. Al-Baqillani. Al-Juwaini dan al-Ghazali.
Akhirnya, aliran itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat Islam menganutnya sempai detik ini.
Salah satu factor penting bagi tersebarnya teologi Asy’ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya terhadap dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis dari faham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan demikian ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran Dinasti yang berkuasa. Di Mesir aliran Asy’ariyah dibawa oleh Salahuddin al-Ayyubi, sebagai pengganti dari aliran Syi’ah yang dibawa oleh dinasti Fatimiyah. Afrika Utara dan Andalusia disebarkan oleh Muhammad Ibn Tumart pendiri Dinasti Muwahhidin. Di dunia bagian Timur ajaran Asy’ariyah dibawa oleh Mahmud al-Ghaznawi, dan tersebar ke Afganistan, Irak serta sampai India.
Di Indonesia, sebagian besar kaum muslimnya menganut faham Asy’ariyah dalam bidang aqidah (teologi). Hal ini cukup beralasan karena : Pertama, Islam di Indonesia beraliran Sunni, sehingga tidak menganut teologi Syi’ah, atau Mu’tazilah. Kedua, karena Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i, dan seperti dimana-mana, kaum Syafi’i kebanyakan menganut teologi Asy’ari.

V. KESIMPULAN
Pemikiran rasional Mu’tazilah mendapat respon yang cukup keras sehingga lahir aliran ilmu kalam (aqidah) Al-Asy’ariah. Aliran ini dipelopori seseorang ulama yang berasal Baghdad, Irak, yang bernama Abu Al-Hasan Al Asy’ari (873-935). Ia melakukan kritik terhadap pemikiran-pemikiran yang dilancarkan tokoh-tokoh Mu`tazilah hingga mempunyai paham tersendiri yang disebut Al-Asy’ariah. Tokoh-tokoh yang termashur dalam aliran Al-Asy’ariah ini, yaitu Abu Bakar Al Baqillani (1013 M), Imam Al Haramain Al Juwaini (419-478 H), Abu Hamid Al Ghazali (1058-1111), dan Imam Fakhruddin Ar-Razi.
Dari uraian tentang aliran pemikiran Asy’ariyah diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, perlu ditinjau kembali secara mendalam tentang pemikiran teologi Asy’ariyah, yang amat controversial dengan teologi Mu’tazilah sebagai aliran yang pernah diikuti Abu Hasan al-Asy’ari, bukan sebatas revisi atau rekonstuksi,melainkan suatu perombakan radikal, kendati merupakan :kelanjutan” dari teologi Mu’tazilah
Kedua, ada dua ciri kuat dalam doktrin Asy’ariyah, yakni pendekatan nashnya dan penekanannya yang kuat pada kehendak mutlak Tuhan. Sekali pun Asy’ariyah sering dipandang sebagai aliran yang memadukan pendekaatan tekstual dan interpretasi rasional.
Ketiga, karena teologi Asy’ariyah didirikan atas kerangka landasan yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia dngan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran.
Keempat, tersebarnya teologi Asy’ariyah karena seikap akomodatifnya terhadap dinasti yang berkuasa.
Al-Baqillani, seorang dialektikus terkenal Asy’ariyah, karena banyak terlibat diskusi dengan pihak Mu’tazilah dan pendeta Kristen, yang banyak menggunakan metode rasional, tetapi sampai menyerap hasil pemikiran filsafat Yunani dan menjadikannya sebagai dasar-dasar argumentasi rasional dalam masalah akidah. Bahkan dia mewajibkan iman kepada dasar-dasar tersebut.
Diantara dasar-dasar itu ialah: bahwa alam terdiri atas aksiden; aksiden tidak mampu bertahan sampai dua detik dan sebagainya. Meskipun demikian, al-Baqillani sama sekali tidak melupakan metode tekstual. Memang dalam kitab al-Tamhid (Pendahuluan), al-Baqillani sama sekali tidak memasukkan argumen tekstual, sehingga murni rasional. Tetapi dalam kitabnya yang lain, al-Inshaf, dia mempergunakan argumen rasional dan tekstual secara bersamaan dalam setiap masalah. Selain itu, al-Baqillani, sebagaimana Asy’ari, juga menetapkan ayat-ayat dan hadis mutasyabihat sebagai sifat-sifat Tuhan dengan “bila kayf” (tanpa diketahui bagaimanaya) dengan mengemukakan dalil naqal.
Meskipun al-Baqillani telah membawa metode Asy’ariyah kepada rasionalitas yang lebih tinggi, namun, dia masih awam mengenai logika Aristoteles, karena dalam artumen-argumennya belum ditemukan terminologi logika tersebut. Al-Baqillani hanya mempergunakan logika yang digunakan di kalangan ulama ushul al-fiqh, seperti tentang qiyas yang diterapkan dalam akidah.










DAFTAR PUSTAKA

A.Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta:Bulan Bintang,1980.
A.Muhammad Subhi, fi Ilm al-Kalam II ,Iskandariyah, 1982
Afif Muhammad,”Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik ke Modern”’ dalam Mimbar Studi:Jurnal Ilmu agama Islam Bandung IAIN,2003, Vol.XXVII/No.1/Januari 2003
Abdul aziz Dahlan,Sejarah Perkembangan pemikiran DalamIslam, Jakarta:Beunebi Cipta,1987
Abuddin nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf ,Jakarta; Rajawali Pers, 1993
Ahmad al-Syahrastani, Sekte-sekte Islam, Terj.Karsidi Diningrat Bandung: Pustaka,1996
Budhy Munawwar Rachman,(Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dan Sejarah, Jakarta: Paramadina,1994
Harun Nasution , Teologi Islam :Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta - UI-Press,2006
M.Amin Abdullah,Dr. Falsafat Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Cetakan I, Jakarta:Paramadina,1992.
Sayyed Hossein Nasr (ED), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam: Manifestasi, Bandung: Mizan, 2003.